banner 728x250

GEMAH: Gugatan CMNP Terhadap MNC Group Salah Alamat Secara Hukum

  • Bagikan
banner 468x60

Jakarta (InsightMedia) — Sengketa hukum yang menyeret dua tokoh besar dalam dunia bisnis Indonesia, Jusuf Hamka melalui perusahaannya PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), dan Hary Tanoesoedibjo selaku pemilik MNC Group, kini memasuki fase krusial. Gerakan Mahasiswa Hukum (GEMAH) turun tangan melakukan examinasi hukum terhadap perkara yang tengah bergulir di pengadilan, dan menyampaikan temuannya ke publik.

GEMAH
(InsightMedia/ist) Ketua Umum GEMAH, Badrun Atnangar.

Dalam konferensi pers yang digelar Selasa (8/4), Ketua Umum GEMAH, Badrun Atnangar, menilai gugatan CMNP terhadap PT Bhakti Investama Tbk (kini PT MNC Asia Holding Tbk) sebagai pihak yang tidak tepat. Gugatan senilai Rp 103,4 triliun ini, menurut GEMAH, sarat dengan kejanggalan dan berpotensi cacat hukum karena menempatkan pihak yang keliru dalam posisi tergugat.

Example 300x600

Sengketa Bermula dari NCD UniBank

Perkara ini bermula dari transaksi jual beli surat berharga berupa Negotiable Certificate of Deposit (NCD) yang diterbitkan oleh PT Bank UniBank Tbk. CMNP mengklaim memiliki NCD senilai total US$ 28 juta, terdiri dari dua sertifikat: US$ 10 juta yang jatuh tempo pada 9 Mei 2002, dan US$ 18 juta pada 10 Mei 2002.

Namun belakangan, CMNP menyatakan NCD tersebut tidak bernilai alias palsu. Mereka menuduh adanya dugaan penipuan dalam penerbitannya dan menggugat Bhakti Investama, yang saat itu menjadi pihak perantara dalam transaksi antara CMNP dan UniBank.

Tak tanggung-tanggung, gugatan tersebut juga mencakup permintaan kepada pengadilan untuk mengesahkan penyitaan aset milik Hary Tanoesoedibjo dan MNC Asia Holding sebagai bentuk jaminan atas kerugian yang diklaim CMNP.

GEMAH: Bhakti Investama Hanya Broker, Bukan Penerbit

Berdasarkan hasil examinasi, GEMAH menilai tudingan CMNP kepada Bhakti Investama tidak berdasar. “Secara fakta hukum, Bhakti Investama saat itu hanya bertindak sebagai perantara atau broker. Pembayaran dari CMNP langsung ditransfer ke rekening UniBank, bukan ke Bhakti Investama,” kata Badrun.

Menurut data yang mereka telaah, UniBank tercatat telah menerima total US$ 17,4 juta dari CMNP dalam kurun waktu dua tahun lima bulan. Sementara Bhakti Investama hanya memperoleh komisi sebagai perantara tanpa turut campur dalam penerbitan NCD.

Badrun juga menambahkan, “Jika memang NCD itu palsu, maka yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban adalah pihak yang menerbitkan, bukan pihak yang memperantarai.”

Audit Internal CMNP Akui NCD Sah

Lebih lanjut, GEMAH mengungkap bahwa sebelum UniBank dibekukan, auditor internal dari CMNP sendiri telah melakukan verifikasi dan menyatakan bahwa NCD yang dibeli tersebut sah dan bernilai.

“CMNP melakukan audit secara mandiri dan menyatakan sertifikat tersebut valid. Jadi, bagaimana mungkin mereka kini menyatakan NCD tersebut palsu?” tutur Badrun dengan nada heran.

Tak Terseret dalam Putusan MA

Badrun juga merujuk pada putusan Mahkamah Agung dalam perkara serupa yang diajukan CMNP terhadap UniBank, BPPN, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia. Dalam putusan itu, BPPN dinyatakan menang, dan tidak ada keterlibatan Bhakti Investama dalam perkara tersebut.

“Ini bukti kuat bahwa Bhakti Investama bukan bagian dari perselisihan hukum yang sesungguhnya,” tambahnya.

Dugaan Error in Persona

Dari sudut pandang hukum, GEMAH menyimpulkan bahwa gugatan yang dilayangkan CMNP merupakan error in persona — atau kesalahan dalam menunjuk pihak tergugat.

Badrun menjelaskan dengan analogi sederhana, “Bayangkan A meminjam uang dari B, dengan C sebagai saksi. Tapi saat uang tidak dikembalikan, A malah menggugat C. Itulah yang terjadi di kasus ini.”

Menurutnya, hal ini dapat menyebabkan gugatan CMNP ditolak oleh pengadilan karena secara formil telah keliru dalam menyasar pihak yang digugat.

Seruan untuk Keadilan Hukum

Atas dasar semua temuan tersebut, GEMAH mendesak agar pengadilan melihat perkara ini secara objektif dan berdasarkan bukti hukum yang sah. Mereka menilai pentingnya menjaga integritas proses peradilan perdata dari gugatan-gugatan yang tidak tepat sasaran.

“Gugatan ini berpotensi menimbulkan preseden buruk dalam praktik hukum perdata di Indonesia. Bila broker bisa digugat atas produk yang ia tidak terbitkan, maka ke depan siapa pun bisa terjerat hanya karena berada di jalur transaksi,” tandas Badrun.

Dengan sorotan publik yang semakin tinggi terhadap kasus ini, hasil akhir dari persidangan akan menjadi perhatian penting bagi komunitas hukum dan dunia usaha, terutama menyangkut kepastian hukum dalam transaksi keuangan. (put)

banner 325x300
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *