Jakarta (Insight Media) — Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah melakukan langkah efisiensi anggaran menyusul pemangkasan dana bagi hasil (DBH) dari pemerintah pusat. Salah satu langkah konkret yang ditempuh ialah pendataan ulang atau rekonsiliasi gaji aparatur sipil negara (ASN) dan non-ASN.
Kebijakan ini diambil untuk memastikan pengelolaan keuangan daerah lebih efisien, akurat, dan tepat sasaran di tengah keterbatasan dana transfer.
Rekonsiliasi Gaji ASN dan Non-ASN
Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi DKI Jakarta, Suharini Eliawati, menjelaskan bahwa proses rekonsiliasi gaji menjadi prioritas dalam efisiensi belanja daerah. “Sekarang kami melakukan rekonsiliasi penghitungan gaji. Gaji ASN maupun non-ASN kami cek ulang agar data valid,” ujar Suharini di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (6/10/2025).
Menurut Suharini, data kepegawaian di lingkungan Pemprov DKI bersifat dinamis setiap bulan. Kondisi itu disebabkan adanya pegawai yang pensiun, mutasi, serta penambahan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). “Data pegawai selalu berubah. Ada yang pensiun, ada penambahan P3K. Maka kami perlu hitung ulang agar anggaran gaji tidak membengkak,” jelasnya.
Ia menegaskan, langkah ini bukan sekadar penghematan, melainkan bentuk penataan keuangan yang lebih transparan. Dengan data gaji yang akurat, Pemprov DKI bisa menyesuaikan alokasi belanja dengan kebutuhan riil di lapangan.
Efisiensi di Sektor Operasional Pemerintahan
Selain gaji, Pemprov DKI juga melakukan efisiensi pada beberapa pos anggaran rutin, seperti biaya telepon, listrik, air, dan internet. Kebijakan ini diharapkan dapat menekan pengeluaran tanpa mengganggu pelayanan publik. “Pos pengeluaran rutin juga kami efisiensikan. Misalnya dana telepon, listrik, air, dan internet. Namun pelayanan tetap kami jaga agar optimal,” kata Suharini.
Menurutnya, Pemprov DKI berupaya agar efisiensi tidak berdampak negatif pada jalannya pemerintahan maupun pembangunan infrastruktur. “Meskipun anggaran berkurang, pembangunan tetap harus berjalan. Yang penting bagaimana kita menciptakan creative financing,” ujarnya.
Pemangkasan Dana Bagi Hasil dari Pemerintah Pusat
Langkah efisiensi ini dilakukan setelah pemerintah pusat memangkas dana transfer ke daerah, termasuk dana bagi hasil untuk DKI Jakarta. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari penyesuaian fiskal nasional yang diterapkan mulai pertengahan 2025.
Pemangkasan DBH berdampak langsung pada kemampuan fiskal Pemprov DKI, yang sebelumnya sangat bergantung pada penerimaan tersebut untuk mendanai proyek-proyek pembangunan dan layanan publik.
Menurut catatan Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta, dana transfer dari pemerintah pusat tahun 2025 turun sekitar 12 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Meski demikian, Pemprov DKI tetap berkomitmen menjaga stabilitas fiskal daerah dengan mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) dan melakukan efisiensi belanja.
Dorongan Inovasi dan Pembiayaan Kreatif
Suharini menekankan bahwa Pemprov DKI kini mendorong strategi pembiayaan inovatif untuk menjaga keberlanjutan pembangunan. Pemerintah daerah akan menggandeng sektor swasta dan badan usaha dalam skema kerja sama investasi. “Kami mulai menjajaki creative financing dengan dunia usaha dan BUMD. Tujuannya agar pembangunan tetap berjalan meski dana transfer berkurang,” ujarnya.
Skema creative financing memungkinkan Pemprov DKI mengembangkan proyek publik melalui kerja sama pembiayaan jangka panjang, seperti public-private partnership (PPP) dan obligasi daerah.
Menurut Suharini, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci agar Jakarta tetap mampu membiayai program prioritas, mulai dari transportasi publik, infrastruktur digital, hingga penataan lingkungan. “Kami tidak bisa hanya bergantung pada APBD. Harus ada kolaborasi dengan dunia usaha dan lembaga keuangan,” tambahnya.
Pembangunan Tetap Berjalan
Meski dihadapkan pada tekanan fiskal, Pemprov DKI memastikan sejumlah proyek strategis tetap berjalan. Proyek yang dimaksud antara lain pembangunan jalur TransJakarta baru, revitalisasi trotoar, serta program rumah layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Kebijakan efisiensi justru diharapkan menjadi momentum untuk menata ulang prioritas pembangunan dan memperkuat tata kelola keuangan daerah. “Efisiensi bukan berarti memangkas program prioritas. Kami memastikan setiap rupiah anggaran digunakan seefektif mungkin,” tegas Suharini.
Langkah efisiensi ini juga akan dievaluasi secara berkala oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Inspektorat DKI. Hasil evaluasi menjadi dasar dalam perencanaan APBD 2026 agar lebih adaptif terhadap kondisi fiskal nasional.
Menjaga Disiplin Fiskal dan Kepercayaan Publik
Pengamat kebijakan publik Adi Nugroho menilai langkah efisiensi Pemprov DKI sebagai bentuk kedewasaan fiskal. Menurutnya, disiplin anggaran harus menjadi budaya birokrasi agar daerah lebih mandiri. “Efisiensi bukan sekadar memangkas biaya, tetapi membangun kebiasaan baru yang lebih efisien dan produktif,” ujar Adi saat dihubungi terpisah.
Ia menambahkan, transparansi dalam proses rekonsiliasi gaji dan pengendalian belanja rutin akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. “Langkah seperti ini harus dikomunikasikan dengan baik agar masyarakat memahami arah kebijakan pemerintah,” kata Adi.
Dengan strategi efisiensi dan pembiayaan kreatif, Pemprov DKI Jakarta berupaya menjaga keberlanjutan pembangunan meski dihadapkan pada tantangan fiskal. Pemerintah pusat berharap kebijakan serupa juga diterapkan daerah lain agar manajemen keuangan publik di Indonesia semakin efisien dan adaptif terhadap perubahan ekonomi global. (And)