Jakarta (Insight Media) – Ketua Umum PB PSTI, Asnawi Abdul Rahman, secara resmi mengajukan gugatan Pembatalan Putusan BAKI Nomor:02/BAKI/PSIV/2025 ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Gugatan ini dilayangkan menyusul putusan Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia (BAKI) yang membatalkan hasil Musyawarah Nasional (Munas) PSTI Tahun 2024 yang telah menetapkan Kepengurusan periode 2025-2029. Diduga dalam proses pemeriksaan dan putusan yang dikeluarkan oleh arbiter tunggal BAKI telah tidak sesuai dengan Hukum Acara BAKI dan telah melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sehingga menimbulkan keberatan atas hal-hal dimaksud ditambah lagi adanya keterlibatan pihak-pihak yang dinilai tidak netral dalam proses pemeriksaannya.

Asnawi menyatakan sidang perdana berlangsung pada Kamis, 23 Oktober 2025, namun ditunda oleh Majelis Hakim karena pihak Termohon ada yang tidak hadir. Majelis hakim menunda persidangan hingga 3 November 2025 sambil menunggu pemanggilan ulang terhadap para pihak. Dalam gugatannya, Asnawi menyampaikan bahwa MUNAS PSTI Tahun 2024 dilaksanakan berdasarkan rekomendasi KONI Pusat dan kemudian pelaksanaannya dihadiri dan dibuka oleh Waketum I KONI Pusat, tetapi dalam pemeriksaan sidang arbitrase, KONI Pusat tidak masuk sebagai pihak, yang mana KONI Pusat memiliki urgensi untuk menjelaskan terkait Surat Rekomendasi Pelaksanaan Munas PSTI Tahun 2024 dan menjelaskan terkait kehadirannya yang sekaligus membuka Munas PSTI Tahun 2024 pada tanggal 28-29 Desember 2024 di Sukabumi Jawa Barat. Kemudian Kuasa Hukum dari Pemohon dalam perkara arbitrase yang berasal dari Ketua Bidang Hukum KONI Pusat tentunya secara etik juga sangat tidak dibenarkan karena akan timbul konflik internal ditubuh KONI Pusat itu sendiri.
Asnawi menyampaikan bahwa Pelaksanaan Munas PSTI Tahun 2024 yang dihadiri 24 Pengprov PSTI seluruh Indonesia telah sesuai dengan AD/ART PSTI, namun kemudian dibatalkan melalui putusan BAKI yang tidak mempertimbangkan proses dan fakta sebenarnya dalam Munas. “KONI yang datang membuka Munas, memakai atribut organisasi dan menyaksikan 24 provinsi yang hadir, kemudian keputusan dalam Munas diambil secara aklamasi, tetapi setelah itu muncul gugatan di BAKI yang diajukan oleh Pengprov PSTI yang tidak hadir dalam Munas, dan lebih ngawur lagi, Kuasa Hukum atau pengacara dari Pemohon perkara di BAKI berasal dari Bidang Hukum KONI Pusat sendiri ditambah lagi saksi dari Pemohon juga berasal dari anggota bidang organisasi KONI Pusat yang pada kesaksiannya telah mengoreksi pimpinannya sendiri, ini jelas melanggar etik dan jauh dari kata sportif,” ujar Asnawi. Ia menegaskan fenomena ini akan menjadi preseden buruk bagi penyelesaian sengketa keolahragaan melalui arbitrase dengan arbiter tunggal, apalagi situasi ini berbarengan dengan persiapan tim nasional Indonesia menghadapi SEA Games di Bangkok.
Polemik administrasi dan hukum ini menimbulkan dampak yang tidak baik bagi pembinaan dan persiapan atlet-atlet sepaktakraw dalam mengukir prestasi setinggi-tingginya. Kemenpora disebut-sebut mengambil alih sebagian tanggung jawab terkait keikutsertaan tim di ajang internasional, dari hal tersebut yang lebih penting adalah status kepengurusan tetap menjadi persoalan yang harus segera diselesaikan. Asnawi menegaskan langkah hukum ini ditempuh demi menjernihkan tata kelola organisasi dan memastikan prosesnya berlangsung adil serta sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku.



















