Yogyakarta (Insight Media) – Abdul Haris Rustaman mempersembahkan pameran tunggal bertajuk Dou Labo Dana Manusia dan Alam. Pameran ini menjadi bagian dari disertasi penciptaan seni program doktoral di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Pameran berlangsung 8 hingga 11 Juli 2025 di Galeri Seni Prof. But Muchtar, Kampus Pascasarjana ISI Yogyakarta. Octavianus Cahyono Priyanto, S.T., M.Arch., Ph.D. dijadwalkan membuka pameran tersebut.
Dalam pameran ini, Rustaman menyoroti dilema perladangan jagung dan krisis lingkungan di Bima, Nusa Tenggara Barat. Melalui karya seni, ia mengajak masyarakat merenungkan relasi manusia dan alam yang kian rapuh di era antropocene.
“Pameran ini lahir dari kegelisahan saya melihat krisis ekologis yang semakin nyata di Bima,” ujar Rustaman saat pembukaan pameran, Selasa, 8 Juli 2025.
Menggugat Dilema Perladangan Jagung
Rustaman mengangkat tema Dou Labo Dana, istilah lokal Bima yang berarti Manusia dan Alam. Konsep ini merefleksikan keterhubungan erat sekaligus paradoks antara harapan dan kehancuran dalam kehidupan agraris masyarakat Bima.
“Perladangan jagung menjadi penopang ekonomi, tapi sekaligus memicu kerusakan lingkungan,” jelas Rustaman.
Ia menyoroti bagaimana praktik perladangan jagung—yang telah berlangsung turun-temurun—kini menjadi salah satu faktor pemicu deforestasi, erosi, dan bencana ekologis.
“Petani bukan penyebab tunggal krisis. Sistem yang timpang memperparah keadaan,” katanya menegaskan.
Empat Karya, Satu Suara Lingkungan
Rustaman menampilkan empat karya utama: Mesin Ingatan, Ruang Antroposen, Tumbuh dalam Kepunahan, dan Penyelamat Tak Terselamatkan. Karya-karya tersebut disusun dalam narasi tandingan terhadap wacana yang menyalahkan petani sebagai biang keladi kerusakan alam.
Dalam karya Tumbuh dalam Kepunahan, Rustaman menampilkan jagung tergantung terbalik dan abu pembakaran. Karya ini menggambarkan kehancuran ekosistem yang terus tumbuh di tengah ancaman kepunahan.
“Saya ingin menampilkan alam sebagai makhluk hidup yang memiliki suara dan luka,” ujar Rustaman.
Melalui pendekatan estetika posthuman, Rustaman menghadirkan pohon, tanah, burung walet, dan jagung sebagai entitas hidup yang layak didengar. Alam tak lagi menjadi objek pasif, melainkan subjek yang menyimpan kesaksian penderitaan.
Menggugat Sistem, Bukan Manusia
Pameran ini meminjam kerangka hegemoni tandingan Antonio Gramsci. Rustaman menolak pandangan yang memojokkan petani sebagai pelaku utama krisis. Ia menunjukkan bahwa akar permasalahan justru terletak pada sistem kapitalistik yang tak berpihak pada rakyat kecil.
“Petani bekerja keras, tapi sistem membuat mereka buntu,” tegasnya.
Melalui ilustrasi metaforis, animasi tokoh Dou Jago, dan instalasi jagung terbalik, Rustaman menghadirkan kritik sosial yang tajam. Ia juga melibatkan anak-anak petani dalam proses kreatif sebagai bentuk kolaborasi yang membumi.
Krisis Lingkungan adalah Krisis Kemanusiaan
Melalui karyanya, Rustaman ingin memperluas pemahaman bahwa krisis lingkungan bukan sekadar soal kerusakan alam. Lebih dari itu, ia menyoroti hilangnya martabat manusia yang bergantung pada alam untuk hidup.
“Kita kehilangan bukan hanya pohon, tapi juga martabat sebagai manusia,” ujarnya.
Dalam instalasi Tumbuh dalam Kepunahan, Rustaman menampilkan ironi ekologis yang menyayat. Manusia tak lagi di pusat segalanya, melainkan salah satu dari banyak makhluk yang terluka akibat ketidakseimbangan ekosistem.
Menguatkan Dialog Seni dan Lingkungan
Promotor disertasi, Prof. Dwi Marianto, M.F.A., Ph.D., mengapresiasi karya Rustaman yang dinilai mampu menyuarakan isu lingkungan secara kritis dan estetis.
“Ini bukan sekadar pameran, tapi ajakan merenung dan bertindak,” kata Dwi Marianto.
Sementara itu, co-promotor Dr. St. Sunardi menilai pameran ini membuka ruang dialog antara seni, masyarakat, dan lingkungan. Ia menegaskan pentingnya kesadaran ekologis di tengah krisis global yang kian mendesak.
Pameran Dou Labo Dana Manusia dan Alam menjadi ruang kontemplatif yang menyentuh isu besar melalui bahasa seni. Rustaman mengajak setiap pengunjung untuk melihat kembali posisi manusia dalam ekosistem dan memikirkan ulang relasi kita dengan alam.
“Harapannya, seni dapat membangun kesadaran ekologis dan menginspirasi tindakan nyata,” tutup Rustaman.
Pameran ini terbuka untuk umum dan diharapkan mampu memperkaya perspektif tentang tantangan lingkungan di tengah perubahan zaman. (ulf)