banner 728x250

Podcast “Dear President” Capai Episode ke-100, Suarakan Kritik Rakyat Langsung ke Istana

  • Bagikan
banner 468x60

Jakarta (Insight Media) – Podcast “Dear President” menandai tonggak penting dengan menayangkan episode ke-100 pada Senin, 29 Juli 2025. Kanal ini dikelola tiga jurnalis senior: Haris Jauhari (Mantan jurnalis senior dan pendiri Aliansi Jurnalis Video) , Didi Suprianto (Mantan jurnalis senior dan pendiri media detik) , dan Nugroho F. Yudo (Mantan jurnalis senior kompas). Mereka konsisten menyampaikan kritik dan aspirasi publik secara langsung kepada Presiden.

Berbeda dari podcast lain, “Dear President” berdiri bukan demi popularitas. Mereka mengusung misi menyampaikan suara rakyat kepada kepala negara, tanpa harus melewati jalur formal birokrasi.

Example 300x600

Podcast berdurasi 10 hingga 15 menit ini lahir dari inisiatif Haris dan Didi. Keduanya lalu mengajak Nugroho bergabung. Mereka memulai dengan keyakinan sederhana: berbicara langsung kepada Presiden.

“Sebetulnya kami bikin ini karena cuma pengen ngomong sama Presiden,” ujar Nugroho dalam diskusi reflektif, Senin (29/7/2025).

Mereka tak mengandalkan narasumber eksternal. Isi podcast murni berasal dari pandangan mereka sebagai jurnalis generalis. Haris menilai pendekatan ini justru membuat mereka lebih leluasa.

“Kita kan wartawan. Tahu sedikit tentang banyak hal. Jadi bisa ngecap, asal relevan,” kata Haris, sambil tertawa.

Topik podcast ini selalu diarahkan ke Presiden. Mereka membahas isu populer seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), kemampuan dasar militer (KDM), hingga peran Gibran Rakabuming dalam proyek nasional.

“Kadang kita heran, kok menteri-menteri mulai ngomongin hal yang sama kayak kita bahas sebulan sebelumnya?” ujar Didi. Ia menyatakan tidak tahu apakah itu kebetulan atau bukan. Namun, ia percaya Presiden mendengar.

Meski awalnya ragu akan ada audiens, mereka tetap melangkah. Respons publik ternyata positif. Beberapa episode bahkan ditonton ribuan kali. Episode yang dianggap tak berdampak biasanya tidak ditayangkan.

“Kita enggak percaya diri. Tapi ya sudah, bikin saja. Ternyata banyak yang nonton,” ucap Nugroho.

Dalam episode ke-100, mereka menyoroti isu beras oplosan. Mereka mengkritik narasi pemerintah soal surplus beras tapi tetap impor. Haris menuding pejabat terlalu ingin menyenangkan Presiden.

“Produksi beras kita 30 juta ton, kebutuhan 22 juta ton. Harusnya surplus,” ujar Haris.

Namun, pemerintah tetap mengimpor. Mereka juga menyebut stok Bulog mencapai 4 juta ton, sebagian sudah kadaluarsa. Jika stok itu dilepas ke pasar, menurut mereka, itulah sumber beras oplosan sesungguhnya.

Proses produksi dilakukan sederhana. Mereka menentukan tema melalui grup percakapan daring. Tak ada kru produksi, editor profesional, atau studio canggih.

“Kita ini bikin dari obrolan WhatsApp. Kalau temanya enggak kuat, ya enggak tayang,” kata Didi.

Mereka lebih mementingkan isi daripada teknis. Bagi mereka, yang utama adalah substansi dan keberanian menyuarakan kritik.

Mereka menolak disebut sebagai pembuat konten gosip. Ketiganya menegaskan latar belakang jurnalistik sebagai pembeda. Mereka menyajikan kritik berbasis data, bukan opini kosong.

“Kita bukan tukang gibah. Kita jurnalis. Kita tahu prioritas,” tegas Didi.

Meski engagement kadang turun, mereka tetap konsisten menyuarakan isu publik. Mereka percaya, meski hanya Presiden yang mendengar, itu sudah cukup.

“Kalau didengar Presiden, ya itu bonus. Tapi kita lakukan karena peduli,” ujar Nugroho.

Podcast ini tidak sekadar media opini. Ini bentuk komunikasi publik yang langsung ditujukan kepada pemimpin tertinggi.

“Yang penting kami tetap pada jalur. Bicara langsung ke Presiden,” ucap Haris.

Ia menegaskan bahwa kritik adalah bentuk cinta terhadap bangsa. Menurutnya, menyampaikan kebenaran adalah bagian dari tanggung jawab warga negara.

“Karena ini negara kita semua. Kritik itu bentuk cinta,” pungkas Haris. (Put)

banner 325x300
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *